Seorang anak manusia yang mencoba beradaptasi dengan dunia. Sedang berusaha merantau lebih jauh dalam menempa diri dan mempersiapkan segala makna kehidupan untuk mengabdi pada Sang Maha Hidup.

Tuesday, June 27, 2006

Mengusung Pribadi Yang Berkeimanan


Judul buku : Mengusung Peradaban yang Berkeimanan
Pengarang : Anis Matta
Penerbit : Media Qalbu
Cetakan : Pertama, Januari 2006
Halaman : 164 Halaman

Dari Kenihilan Menuju Peradaban Sejati

Selalu ada pahlawan dalam setiap zaman. Apakah sepuluh, lima puluh, atau bahkan seratus tahun sekali. Tentu saja pahlawan yang hadir dalam setiap gelombang zaman selalu menghadirkan corak, pola pikir dan fenomena tertentu. Sehingga, pada akhirnya setiap orang akan mengakui dan memaknai bahwa kepahlawanan yang ia ciptakan adalah nyata adanya. Tanpa rekayasa, kebohongan dan pemaksaan.
Di luar makna sebuah sosok kepahlawanan, tentu saja ada zaman yang mengiringinya. Sebuah epik kebanggaan yang tercipta atau bahkan menciptakan pahlawan itu sendiri. Orang-orang lebih senang menyebutnya dengan peradaban.
Dari sekian bentuk zaman yang ada, patut kita sorot sebuah peradaban yang belum ada tandingnya hingga hari ini. Bahkan oleh barat sekalipun. Dia adalah peradaban Islam. Dibawa oleh ustadziatul alam Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah untuk seluruh alam. Islam telah merubah segala sendi kehidupan manusia mulai dari lingkup terkecil hingga aspek terbesar.
Lebih dari itu, ternyata Islam bukan hanya telah melahirkan pahlawan yang tak ada hentinya, tapi juga telah membuat peradaban Islam itu tak pernah lekang dan membuatnya terus ada sepanjang waktu.
Hanya saja banyak akhirnya yang tidak menyukai adanya Islam sebagai sebuah solusi. Bukan hanya karena tidak adanya hidayah yang datang, tapi juga karena ketidaktahuan bahkan karena kebodohan mereka. Sehingga timbullah upaya-upaya menghancurkan Islam. Tak heran bila pada puncaknya, tepat pada 3 Maret 1924 terjadi penggulingan Khilafah Islamiyah yang sedang berkuasa.
Dr. Salim Segaf al Jufri dalam pengantar buku Menuju Jama`atul Muslimin jelas mengatakan bahwa setidaknya ada dua tokoh pemuka da`wah yang tak boleh dilupakan bila berbicara tentang kebangkitan Islam. Mereka adalah Abul A`la al-Maududi yang telah menggerakkan Jama`at Islami dan Imam Syahid Hasan al Banna dengan gerakan Ikhwanul Musliminnya. Masing-masing memiliki karakteristik yang tidak sama.
Al Maududi banyak menghasilkan buku dan memiliki jam terbang tinggi dalam berdakwah melalui mimbar. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian Jama`at Islami dikenal lebih membumi di kawasan India dan Pakistan. Sementara, Hasan al Banna telah menghujamkan kukunya dengan banyak mencetak kader dan sedikit menulis buku. Pemikirannya telah meluas hampir ke seluruh belahan dunia.
Yan g menarik dari kedua tokoh tersebut adalah bahwa mereka telah mencoba meletakkan dasar-dasar struktural kebangkitan Islam. Keduanya mencoba kembali menata bagaimana agar Islam sebagai sebuah peradaban yang tinggi kembali berjaya di muka bumi setelah runtuh pada tahun 1924.
Lebih dari itu semua, memang harus ada upaya komprehensif untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Segala jalan yang telah digariskan oleh para pendahulu layak untuk menjadi rujukan utama. Sebab, dengan memahami karakteristik perjuangan, maka akan dapat dicapai hasil maksimal. Itu sebabnya timbul adagium tentang arti sejarah. Bahwa sejarah adalah guru yang paling berharga. Bila ingin berhasil dalam hidup, maka belajarlah dari sejarah. Sebab, sejarah akan terus berulang.
Terkait dengan itulah maka Anis Matta mencoba menggugah ingatan kita tentang arti sebuah peradaban. Bukan hanya sekedar peradaban tanpa makna. Tapi sebuah bentuk peradaban yang penuh dengan nilai keimanan. Hal itu ia rangkum dalam bukunya yang berjudul “Mengusung Peradaban Yang Berkeimanan”.
Buku ini memiliki daya pikat dengan bahasanya yang menarik. Kata-kata lugas yang dilontaran Anis Matta mudah dimengerti walau terkadang butuh pencernaan mendalam. Runutan paragraf seakan-akan membius sang pembaca. Tak heran, bila membacanya akan sulit untuk berpaling walau sejenak. Sebab, satu lembar dalam pembahasan yang sama memiliki keterpaduan yang kuat tak terpisahkan. Ditambah lagi dalam setiap materi yang ia sampaikan selalu disertai dengan kajian sirah (sejarah). Baik tentang nabi, sahabat, salafus saleh atau yang lainnya. Sehingga kita sulit untuk menemui kebosanan.
Buku setebal 164 halaman ini memiliki 6 (enam) bab. Pada bab pertama pembaca akan disuguhkan tentang makna keimanan beserta karakternya. Sementara pada bab kedua, pembaca akan menemui bagaimana cara rasul merumuskan sebuah peradaban. Lalu, pada bab ketiga Anis Matta lebih senang untuk becerita tentang arti sebuah jati diri. Ia memulainya dengan mencari apa saja penyebab hilangnya jati diri, memilih budaya sampai bagaimana cara untuk membangun masyarakat yang madani.
Pada bagian keempat buku ini, kita akan dilayani pembahasan seputar pengkaderan. Tentu saja yang dimaksud disini adalah pengkaderan ummat yang terdiri dari pemimpin dan masyarakat. Ia menceritakan contoh seorang ulama besar bernama Abdurrahman bin Jauz. Ia mengisahkan bahwa ketika Abdurrahman bin Jauz berceramah, hadirin yang hadir bisa mencapai sekitar 200 ribuan. Tidak itu saja, ternyata ulama ini bahkan bisa membius pemimpin thaghut sekalipun yang sulit untuk menangis untuk akhirnya menumpahkan air matanya di pengajian tersebut.
Disampaikan oleh Anis Matta bahwa itu terjadi lantaran ia adalah seorang pemimpin. Diluar kapasistasnya sebagai ulama besar, ahli hadits, ahli fiqh, zuhud dan pakar sejarah. Kenapa ia disebut sebagai pemimpin? Anis Matta menyimpulkan bahwa karena ia memiliki magnet. Dan itulah salah satu karakter pemimpin yang patut diteladani.
Anis Matta seakan menelanjangi sejarah ketika ia bercerita tentang Abraha (pemimpin pasukan brgajah) pada bab kelima buku ini. Dalam bab tersebut ia berusaha menyimpulkan hikmah yang terkandung dalam penyerbuan pasukan bergajah dahulu. Setidaknya ada lima pelajaran yang patut dijadikan catatan. Salah satunya adalah bahwa segala persoalan yang terjadi hari ini baik politik, militer, ekonomi maupun kesenjangan sosial adalah dilatarbelakangi oleh konflik agama, bukan sebaliknya. Artinya, bahwa peradaban yang berkualitas memang harus disokong oleh agama yang bernartabat. Sehingga mampu meredam segala konflik yang akhirnya muncul.
Pada bab akhir, Anis Matta mengingatkan kita tentang arti sebuah kematian. Tak lupa ia memberikan sedikit tips untuk pembaca agar selalu bersiap-siap bilamana dipanggil Yang Maha Kuasa tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Sebagaimana buku-buku bacaan lainnya, selain memiliki kelebihan maka buku ini juga memiliki beberapa kekuransgan. Hanya saja kekurangan yang ada tidaklah begitu bermasalah bila dibandingkan dengan kandungan yang terdapat di dalamnya.
Salah satu kelemahannya adalah tentang penggunaan struktur, kata dan pengadopsian bahasa asing. Di sana masih terlihat kekakuan yang lumayan mencolok. Bahasa yang digunakan masih terkesan oral dan verbal, bukan bahasa tulisan ilmiah. Sehingga banyak penempatan tanda baca yang tidak sesuai dengan makna pembacaan yang seharusnya.
Hal itu bisa dianggap wajar. Sebab, apa-apa yang tertulis dalam buku ini memang diambil langsung dari ceramah-ceramah dan kajian-kajian Anis Matta. Buku ini adalah hasil suntingan dari ungkapan ilmiah Anis Matta dalam beberapa waktu yang dilakukan oleh Lilis Nihwan Sumuranje. Jadi, sebenarnya buku ini memang bukanlah tulisan Anis Matta. Hanya saja ternyata penyunting akhirnya mampu merangkai semua menjadi bahasan utuh yang saling berkait satu sama lain dengan tema yang saling mendukung.
Maka, wajar bila buku ini memang layak untuk dibaca. Terutama bagi para penerus generasi bangsa yang merindukan hadirnya kembali sebuah peradaban Islam yang penuh dengan keimanan. Akankah kita ikut merasakan masa tersebut atau justru kita yang akan menghancurkannya? Fastabiqul Khairat.
Wallahu a`lam bishawab.

Resentator : Basuki (Mantan Wakil Presiden BEM KM Unand 2005-2006)
(tulisan ini telah dimuat di Mingguan Serambi Minang, Bulan Juli. Edisi Tanggal 30 Mei - 6 Juli 2006)

No comments: