Seorang anak manusia yang mencoba beradaptasi dengan dunia. Sedang berusaha merantau lebih jauh dalam menempa diri dan mempersiapkan segala makna kehidupan untuk mengabdi pada Sang Maha Hidup.

Monday, July 03, 2006

“Playboy” dan Realita Ketimpangan Tatanan Masyarakat

“Playboy” dan Realita Ketimpangan Tatanan Masyarakat

Oleh : Basuki

(Wakil Presiden Mahasiswa BEM KM UNAND 2005-2006)

Selamat datang kehancuran moral, selamat tinggal Kejayaan!!!.

Kata-kata ini yang mungkin pantas untuk menyambut datanganya majalah yang akan mengumbar aurat-aurat wanita pada Maret 2006 nanti. Kehadirannya begitu dinantikan penggemarnya di sini. Gemanya yang telah mendahului hadir telah menyeruakkan pikiran nakal jiwa-jiwa penikmat kejahiliaan. Pencari identitas semu pun seakan bergelayutan padanya.

Playboy Indonesia begitulah kira-kira nama majalah yang akan masuk ke Indonesia ini. Tentu saja bukan hanya judul yang akan dipampangkan pada sampul majalah yang di Amerika digawangi oleh Hugh Hefner ini. Model wanita yang telah dipoles dengan make up dan bergaya menggairahkan dengan sedikit sentuhan koreografer profesional serta nyaris tanpa mengenakan busana atau bahkan tak berbusana rasanya bisa dipastikan menghiasi sampulnya.

Itu belum seberapa bila nantinya pembaca membuka halaman per halaman yang direncanakan setebal 180-200 halaman ekslusif berwarna. Di sana akan didapati sajian yang lebih vulgar dan menantang. Sehingga, diakui atau tidak, bukan mustahil bila setelah mendapatkan majalah ini dari distributornya, maka pembaca akan sulit melepaskan pandangan bila mata belum menyisir satu persatu halaman demi halaman.

Sebenarnya, kehadiran Playboy edisi Indonesia walau masih dalam rencana dan persiapan, pada satu sisi adalah sebuah kewajaran. Walaupun pada belahan pandangan yang lain adalah sebuah kenaifan. Majalah yang tersebar di 28 negara dan pada terbitan Spanyol telah memunculkan Tiara Lestari, gadis asal Solo sebagai bintang sampul dengan tanpa busana ini seperti mendapat lisensi tak langsung ketika berniat memasuki Indonesia sebagai negara jajahan berikutnya di Asia setelah Jepang.

Hal tersebut dilandasi dengan beberapa alasan. Pertama, ruang gerak majalah-majalah dengan tema serupa hampir tak pernah sepi pembeli ketika hadir di Indonesia. Ambil contoh saja Bond, Exe, ME, dan sebagainya. Bukan makin berkurang pembaca dengan bertambahnya majalah sejenis, justru masing-masing mereka telah mendapat pembaca setia yang selalu menunggu kehadirannya. Apalagi seandainya majalah yang sudah memiliki nilai tersendiri seperti Playboy. Rasanya sulit ditemukan di negara yang berasaskan Pancasila ini bahwasanya mereka tak mengenal Playboy.

Kedua, belum ada aturan mengikat yang jelas disertai sanksi yang tegas. Kalaupun ada, maka kedudukannya sangatlah lemah. Hal ini kemudian yang membuat kelemahan bagi pemerintah sendiri untuk menindak bilamana ada terjadi penyimpangan di lapangan. Dengan alibi ini jugalah yang membuka ruang tersendiri bagi pendatang baru dalam dunia penerbitan.

Ketiga, lemahnya kontrol pemerintah dalam mengawasi arus perputaran media. Terutama yang sekelas dengan Playboy. Sebenarnya, bila mau jujur telah banyak gejolak masyarakat yang tidak menginginkan hadirnya majalah yang akan merusak moral masyarakat. Namun, pemerintah tidak cukup tanggap dan mawas. Sehingga ketakutan dari para penerbit media terhadap jeratan hukum tidak menyurutkan mereka Dan ini menyebabkan bermunculannya media tak bertanggung jawab secara mudah. Keempat, pola konsumtif dan permisive masyarakat Indonesia yang cenderung berlebihan. Berapa banyak produk impor yang telah hadir di tengah kita. Hampir semuanya dinikmati masyarakat. Modus modernitas, ikut perkembangan jaman, agar tak ketinggalan trend dan sebagainya yang akhirnya mengemuka. Sehingga jangan heran ketika nanti majalah ini juga akan memenuhi salah satu sudut ruang baca kita sebagai salah satu wujud pembenaran hal tersebut.

Kelima, majalah-majalah serupa belum pernah diberikan sanksi atau bahkan diberedel ketika mulai menyeruak hadir sejak 6 tahun lewat. Munculnya Sophia Latjuba dengan pose bugil sebagai cover salah satu majalah panas sebenarnya telah menuai kontroversi. Namun tak dinyana, ternyata hal ini justru menjadi corong untuk membuka lahirnya generasi-generasi instant selanjutnya. Mengapa hal itu terjadi. Sebab perlakuan tegas tak juga diberikan walau masyarakat telah dibuat gerah dengan semakin maraknya kasus sejenis. Sehingga, secara tidak langsung kedatangan bagi pendatang baru pun rasanya tak akan dianggap bermasalah. Apalagi disinyalir bahwasanya Playboy Indonesia sendiri telah mengantongi izin penerbitan.

Banyaknya pihak yang senang dengan lahirya media yang dianggap alternatif namun justru menjerumuskan juga menjadi alasan berikutnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung. Bilamana yang menjadi pem back up mereka adalah orang yang memiliki pangkat, jabatan dan kekuasaan, maka segala cara untuk memuluskan jalan juga akan dilakukan. Walau harus dengan melanggar hukum sekalipun.

Beberapa sebab di atas secara frontal tentu saja akan berseberangan dengan pola pikir dan perihidup ketimuran yang seharusnya mewarnai bangsa ini serta pertimbangan lain yang harusnya dipikirkan oleh pihak yang merencanakan pemunculan majalah ini. Diantaranya adalah, pertama, adat Timur tidak pernah membenarkan adanya penampakan vulgar anggota badan sebagai ajang visualisasi tak bermoral.

Hadirnya Playboy Indonesia adalah wujud pengangkangan nilai norma yang berlaku di Indonesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Walaupun M. Ponti Carolus selaku direktur pada PT. Velvet Silver Media berjanji tidak akan memuat foto bugil, tapi sesuai dengan apa yang dikatakan Veven Sp. Wardhana, Playboy sudah identik dengan majalah syur. Sehingga wajar saja bila frame awal yang terbentuk tidak akan jauh dari hal tersebut. Lalu, bila masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai budaya bangsa kemudian menolaknya, itu adalah sebuah kewajaran.

Bahkan, seperti jujur diakui Naek L. Tobing selaku ahli dalam bidang seks, Playboy Indosesia menawarkan sex education yang rendah (kapanlagi.com, 21/01/06). Justru remaja akan semakin mengejar majalah tersebut.

Kedua, tereksposnya wanita dalam setiap penerbitan Playboy Indonesia justru akan memberikan efek negatif tersendiri bagi setiap bagian individu di masyarakat. Bagi yang dirinya mengaku sebagai lelaki normal namun tak sanggup memilah mana yang baik dan yang buruk, tentu akan dengan mudahnya menganggap Playboy Indonesia sebagai bacaan anak muda gaul yang layak dikonsumsi. Sementara bagi wanita normal yang juga merindukan adanya bentuk kepuasaan dengan dipertontonkannya bagian tubuh yang elok kepada khalayak ramai, tentu saja akan membuat semacam candu tersendiri bagi mereka untuk kemudian berhasrat agar suatu ketika dirinyalah yang berada pada posisi tersebut. Sehingga bukan mustahil bila Playmate yang digelar akan dijubeli wanita yang ingin terpampang di sana. Intinya tentu saja pada sebuah kalimat, kecantikan untuk sebuah ketenaran.

Ketiga, hadirnya Playboy Indonesia yang berbau pornografi di dalamnya berpotensi besar untuk menghasilkan tidakan asusila dan tindak kriminal. Hal itu seperti apa yang disampaikan Maria Ulfa Anshor seperti yang terdapat dalam Ensiklopedia Feminisme Maggie Humm. Di sana pornografi diartikan sebagai penggambaran material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan. Apalagi, seperti ditambahkan Drs. Deddy Djamaluddin Malik Msi., ketua Pokja Infokom Komisi I DPR RI, hadirnya Playboy akan menimbulkan ekses kriminalitas dan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan.

Masih segar di ingatan kita pada sebuah pemberitaan terhadap seorang pemuda ketika dirinya terpaksa memperkosa anak di bawah usia hanya karena menonton VCD yang memeragakan goyang Inul. Belum lagi beberapa bulan lalu ditemukan beberapa pasang pemuda pemudi melakukan pesta seks di sebuah hotel melati dan diabadikan dengan HP. Bisa dipastikan bahwa salah satu sebab mengapa itu semua terjadi adalah karena dengan mudahnya media-media pemancing libido hewani didapatkan dimana saja.

Maka bisa dipastikan bahwa hadirnya Playboy Indonesia nantinya juga memiliki bobot potensi yang sama. Yaitu memancing tindak asusila dan kriminal serta pelanggaran norma yang berlaku.

Keempat, alasan bagi pendukungnya bahwa Playboy Indonesia adalah media yang menjunjung tinggi nilai seni dengan menampakkan aurat sebagai visualisasinya dan nantinya akan tergambar pada halaman per halaman sangatlah bertentangan dengan konsep seni itu sendiri. Alasan ini juga yang dulunya menguatkan argumen para pendukung munculnya Sophia Latjuba, Anjasmara, Tiara Lestari dan artis lainnya untuk bebas menampakkan aurat di muka umum.

Mengutip apa yang dikatan Ahmad Khairul Fata (Republika, 21-01-06) seni adalah proses dimana salah satu hasil yang diciptakannya adalah rasa kenyamanan, ketenangan dan keindahan bagi para penikmatnya. Bukan justru menghasilkan bentuk lain seperti rangsangan nafu, bangkitnya libidonal seseorang atau bahkan berniat untuk berbuat sesuatu yang asusila setelah menikmati seni. Oleh sebab itu, Playboy Indonesia dan saudara-saudara sejenis lain yang telah mendahuli kehadirannya, ketika mengatakan bahwa hadirnya mereka adalah untuk membela seni atau setidaknya dikatakan sebagai ekspresi seni sangat tidak beralasan. Sebab, sudah bisa dipastikan setelah membaca dan melihat isi dalamnya akan menimbulkan rangsangan lain.

Kelima, ada agenda besar yang sengaja dirancang orang-orang yang tak menginginkan Indonesia berkembang sebagai negara yang maju dan berperadaban. Dengan cara menanamkan norma yang tak sesuai pada tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, ada kepentingan negara lain untuk merusak moral bangsa Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menerbitkan Playboy Indonesia pada awal Maret 2006 nanti.

Mengutip apa yang disampaikan Tifatul Sembiring dan Meutia Hatta, terbitnya Playboy Indonesia yang memuat gambar dan tulisan yang sarat dengan unsur pornografi sangat berpotensi merusak moral dan akhlak bangsa (Republika 22-01-06). Adyaksa Dault pun mengatakan bahwa perjalanan bangsa dan negara di masa depan akan semakin terpuruk. Sebab, pasar utama majalah ini adalah generasi muda yang diharapkan mampu menopang perjalanan bangsa kedepan. Bila ternyata pikiran mereka dilenakan dengan hal-hal yang merusak akhlak, maka kita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.

Bahkan, Fauzan Al Anshari, Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia mengatakan, ada rekayasa global yang telah diset untuk Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa dalam peluncuran Playboy di Indonesia erat hubungannya dengan jumlah ummat Islam yang besar di negara ini. Itu semua terkandung dalam Protocol of Zions, bahwa untuk menghancurkan umat Islam adalah dengan merusak moral dan akhlak generasi mudanya dengan terus diberikan kemudahan mengakses hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam.

Pertanyaannya adalah apa yang akan kita lakukan dalam menyikapi permasalahan ini. Menurut hemat penulis, ada beberapa upaya yang harus dilakukan. Pertama, percepat pengesahan Undang Undang Antipornografi dan Pornoaksi yang hari ini masih dalam bentuk RUU. Kedua, kejaksaan dan kepolisian wajib menarik peredaran majalah tersebut bila dianggap meresahkan masyarakat. Ketiga, melakukan pendekatan kepada pihak yang memberikan izin penerbitan agar mempertimbangkan kembali surat izin penerbirtan yang telah dikeluarkan. Keempat, meminta perhatian pemerintah agar mengeluarkan kebijakan khusus terkait masalah pornografi dan pornoaksi. Sebab, kebijakan pemerintah yang berkuasa hari jelas bahwa pornografi dan pornoaksi harus ditindak tegas.

Terakhir, perkuat dan awasi perputaran arus media yang telah dan akan beredar di masyarakat. Terutama media sekelas Playboy. Sebab, bila kelemahan ini terus dipertahankan. Maka tidak mustahil bila nanti anak kecil pun dapat membaca atau bahkan membelinya.

Pada akhirnya kita semua mengharapkan bahwa situasi kondusif dimana segala norma yang telah berlaku di masyarakat dapat terus kita jaga dan lestarikan. Apapun isi majalah yang akan terbit tersebut, citra majalah tersebut sebagai majalah nudis sudah melekat. Sehingga, ketika ternyata justru citra tersebut yang muncul pada realitanya nanti,. Maka, tunggu saja meledaknya bom waktu yang telah lama mengendap di masyarakat. Jangan sampai apa yang disampaikan Balkan Kaplale, Ketua Pansus DPR RI RUU Antipornografi Pornoaksi, manjadi kenyataan. Bahwa, masyarakat bisa melakukan apapun.

Wallahu a`lam.

No comments: